Sejarah Kota Medan – Kota Medan adalah salah satu kota yang memiliki sejarah yang kaya dan beragam di Indonesia. Terletak di Provinsi Sumatera Utara, kota ini menjadi sentra kegiatan ekonomi, politik, dan budaya di kawasan ini. Sejarah Kota Medan tidak terlepas dari peran berbagai bangsa dan kekuatan yang pernah menguasai kota ini, mulai dari Kesultanan Deli yang menjadikannya sebagai ibu kota, hingga pengaruh penjajah Belanda dan Jepang yang meninggalkan jejak yang masih terasa hingga hari ini.
Table of Contents
ToggleSejarah Kota Medan – Penting Untuk Kamu Ketahui

Selain itu, Medan juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Para pemuda dan tokoh nasionalis dari kota ini turut serta dalam berbagai pergerakan dan kegiatan yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Sejarah Kota Medan, dengan segala perjuangan dan pengaruh yang pernah terjadi di kota ini, menjadikan Medan sebagai kota yang memiliki warisan sejarah yang tak ternilai. Seiring berjalannya waktu, kota ini terus berkembang menjadi salah satu pusat ekonomi dan kebudayaan yang penting di Indonesia.
Tanah Deli di Medan
Di masa lalu, Kota Medan dikenal dengan sebutan Tanah Deli. Wilayahnya terdiri dari tanah yang berawa-rawa dengan luas kurang lebih 4.000 Ha. Terdapat beberapa sungai yang melintasi Kota Medan dan semuanya mengalir ke Selat Malaka. Sungai-sungai tersebut meliputi Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan, dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.
Pembukaan perkampungan Medan
Pembukaan perkampungan Medan pertama kali dilakukan oleh Guru Patimpus yang berlokasi di Tanah Deli. Oleh karena itu, sejak masa penjajahan, orang sering mengaitkan Medan dengan Deli, disebut sebagai Medan-Deli. Namun, seiring berjalannya waktu setelah kemerdekaan, istilah Medan Deli perlahan mulai lenyap dan kurang populer.
Kawasan Tanah Deli dahulu mencakup wilayah dari Sungai Ular (Deli Serdang) hingga Sungai Wampu di Langkat. Namun, Kesultanan Deli yang berkuasa saat itu tidak mencakup wilayah di antara kedua sungai tersebut.
Secara keseluruhan, jenis tanah di Tanah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat, dan tanah merah. Penelitian yang dilakukan oleh Van Hissink pada tahun 1900 dan dilanjutkan oleh Vriens pada tahun 1910 mengungkapkan adanya jenis tanah liat spesifik di wilayah ini. Tanah liat tersebut digunakan untuk membakar batu bata berkualitas tinggi di tempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng), salah satunya adalah pabrik batu bata Deli Klei.
Curah hujan di Tanah Deli
Curah hujan di Tanah Deli terbagi menjadi dua jenis: Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi antara bulan Oktober hingga Desember, sedangkan Maksima Tambahan terjadi antara bulan Januari hingga September. Rata-rata curah hujan di Medan adalah 2000 mm per tahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Menurut catatan Volker pada tahun 1860, Medan masih merupakan hutan belantara dengan beberapa pemukiman penduduk di muara-muara sungai, yang dihuni oleh orang Karo dan dari semenanjung Malaya. Pada tahun 1863, orang Belanda mulai membuka perkebunan tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu, perekonomian terus berkembang, menjadikan Medan sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi di Sumatera Utara.
Asal-usul Kampung Medan dan Tembakau Deli

Pada awalnya, yang kini dikenal sebagai Kota Medan, adalah sebuah kampung kecil yang disebut “Medan Putri”. Kampung ini berkembang dengan pesat berkat posisinya yang strategis, terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, dekat dengan lokasi jalan Putri Hijau saat ini. Pada masa itu, kedua sungai ini adalah jalur perdagangan yang sibuk, dan karena itulah Kampung “Medan Putri”, yang menjadi cikal bakal Kota Medan, dengan cepat tumbuh menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.
Kampung Medan
Seiring waktu, semakin banyak orang yang datang ke kampung ini. Guru Patimpus, yang mendirikan Kampung Medan, memiliki seorang istri yang melahirkan anak laki-laki pertama mereka, yang mereka beri nama si Kolok. Warga Kampung Medan, yang mereka sebut si Sepuluh dua Kuta, mayoritas bekerja sebagai petani yang menanam lada. Tidak lama kemudian, istri Guru Patimpus melahirkan anak kedua, juga seorang laki-laki, yang diberi nama si Kecik.
Guru Patimpus adalah seorang pemikir yang maju pada zamannya. Ini dibuktikan dengan keputusannya untuk mengirim anaknya untuk mempelajari Alqur’an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam pengetahuan agama Islam di Aceh.
Bukti adanya Kampung Medan ini terdapat dalam catatan H. Muhammad Said yang mengutip dari buku Deli In Woord en Beeld karya N. Ten Cate. Catatan tersebut menyatakan bahwa Kampung Medan pada masa lalu adalah sebuah benteng dengan sisa-sisa dinding bundar dua lapis yang terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak di seberang sungai dari Kampung Medan. Lokasi dari Kampung Medan ini saat ini adalah Wisma Benteng, dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli saat ini.
Gocah Pahlawan
Pada sekitar tahun 1612, dua dasa warsa setelah berdirinya Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim panglimanya yang bernama Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Kuda Bintan, untuk mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan mendirikan negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Sebagai Wali dan Wakil Sultan Aceh, serta dengan dukungan dari imperium Aceh yang besar, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, yang meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli saat ini. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut, dan Sigara-gara.
Dengan kedatangan Gocah Pahlawan, Kerajaan Deli mulai berkembang. Pada tahun 1632, Gocah Pahlawan menikah dengan putri Datuk Sunggal. Setelah pernikahan ini, raja-raja di Kampung Medan menyerahkan kekuasaannya kepada Gocah Pahlawan.
Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh putranya, Tuangku Panglima Perunggit. Ia kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibu kotanya di Labuhan, sekitar 20 km dari Medan.
Pada tahun 1823, John Anderson, seorang Inggris, mengunjungi Kampung Medan dan mencatat dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatra” bahwa penduduk Kampung Medan saat itu berjumlah 200 orang, meski dia hanya melihat mereka yang tinggal di pertemuan antara dua sungai tersebut. Anderson mencatat dalam bukunya yang terbit tahun 1826 bahwa sepanjang Sungai Deli hingga ke dinding tembok masjid Kampung Medan, dibangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu tersebut diambil dari sebuah candi Hindu kuno di Jawa.
Kampung Medan Putri
Perkembangan pesat Kampung “Medan Putri” juga disebabkan oleh keberhasilan perkebunan tembakau, yang terkenal dengan tembakau Delinya yang berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli mengalokasikan tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co dengan sistem erfpacht (sewa tanah jangka panjang) selama 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Pada Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda untuk diuji kualitasnya, dan tembakau tersebut terbukti memiliki kualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.
Pada tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer, dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Mereka kemudian melakukan ekspansi dengan membuka perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras, dan Klumpang (1875), hingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang semakin luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung “Medan Putri”. Sehingga “Kampung Medan Putri” menjadi semakin ramai dan berkembang menjadi yang lebih dikenal sebagai “Kota Medan”.
Legenda Kota Medan

Legenda Kota Medan mengisahkan tentang sebuah kisah di masa lalu yang melibatkan Putri Hijau, seorang putri yang sangat cantik dari Kesultanan Deli Lama, yang terletak sekitar 10 km dari Kampung Medan, di Deli Tua sekarang. Kecantikan Putri Hijau tersohor ke seluruh penjuru, mulai dari Aceh hingga ujung utara Pulau Jawa.
Sultan Aceh yang terpesona dengan kecantikannya mengajukan lamaran untuk menjadikan Putri Hijau sebagai permaisurinya. Namun, lamaran tersebut ditolak oleh kedua saudara laki-laki Putri Hijau. Sultan Aceh sangat marah dengan penolakan ini, yang dianggapnya sebagai penghinaan terhadap dirinya. Akibatnya, terjadilah perang antara Kesultanan Aceh dan Kesultanan Deli.
Menurut legenda, salah satu saudara Putri Hijau berubah menjadi ular naga dengan kekuatan gaib, dan saudara yang lain berubah menjadi meriam yang terus menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya.
kekalahan Kesultanan Deli Lama
Sayangnya, Kesultanan Deli Lama mengalami kekalahan dalam perang tersebut. Putra Mahkota yang berubah menjadi meriam itu meledak, dan bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli, sementara bagian depannya mendarat di dataran tinggi Karo, sekitar 5 km dari Kabanjahe.
Putri Hijau ditawan dan dikurung dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau meminta diadakan upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Ia meminta sejumlah beras dan ribuan telur, dan permintaannya dikabulkan. Namun, begitu upacara dimulai, angin ribut maha dahsyat bertiup, disusul dengan gelombang tinggi.
Dari dalam laut, muncullah saudara Putri Hijau yang telah berubah menjadi ular naga, dan dengan rahangnya yang besar, ia mengambil peti tempat adiknya dikurung dan membawanya ke dalam laut.
Legenda ini sampai sekarang masih terkenal di kalangan masyarakat Deli, dan bahkan juga di kalangan masyarakat Melayu di Malaysia.
Di Deli Tua, masih ada reruntuhan Benteng dan Puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sementara sisa meriam yang merupakan penjelmaan saudara Putri Hijau dapat dilihat di halaman Istana Maimun Medan.
Penjajahan Belanda di tanah Deli

Belanda menjajah Nusantara selama kurang lebih setengah abad, namun untuk menguasai Tanah Deli, mereka menghadapi banyak tantangan. Di Jawa, mereka berperang dengan Pangeran Diponegoro antara tahun 1825-1830, yang menyebabkan banyak kerugian bagi Belanda. Di Sumatera, mereka juga berperang melawan Aceh, Minangkabau, dan Sisingamangaraja di daerah Tapanuli.
Kurang lebih 78 Tahun
Namun, Belanda hanya menguasai Tanah Deli selama kurang lebih 78 tahun, mulai tahun 1864 hingga 1942. Setelah perang Jawa berakhir, Gubernur Jenderal Belanda J. Van den Bosch mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan memperkirakan bahwa untuk menguasai Sumatera secara keseluruhan akan diperlukan waktu 25 tahun. Namun, penaklukan Belanda atas Sumatera terhenti di tengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda saat itu, J.C. Baud, memerintahkan mundur pasukan Belanda di Sumatera, meskipun mereka telah mengalahkan Minangkabau dalam perang yang dikenal dengan nama Perang Paderi (1821-1837).
Sultan Ismail dari Riau tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggris yang dipimpin oleh Adam Wilson. Karena kekuatannya terbatas, Sultan Ismail meminta perlindungan dari Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai Kerajaan Siak Sri Indrapura yang dipimpin oleh Sultan Ismail. Pada tanggal 1 Februari 1858, Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian yang menyatakan bahwa daerah taklukan Kerajaan Siak Sri Indrapura, termasuk Deli, Langkat, dan Serdang di Sumatera Timur, masuk kekuasaan Belanda. Sejak saat itu, daerah Deli dan Kampung Medan secara otomatis menjadi jajahan Belanda, meskipun Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.
Pada tahun 1858, Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan mengangkat dirinya sebagai pembela Sultan Ismail yang berkuasa di Kerajaan Siak. Netscher ingin menguasai daerah taklukan Kerajaan Siak, termasuk Deli dan Kampung Medan Putri, dengan mudah.
Perkembangan Medan Putri
Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan membuatnya menjadi pusat pemerintahan. Pada tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan. Pada tanggal 1 Maret 1887, Ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan dari Bengkalis ke Medan. Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian, Ibukota Deli resmi pindah ke Medan.
Pada tahun 1915, Residensi Sumatera Timur ditingkatkan menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918, Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan “Acte van Schenking” (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 November 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah Kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kota Praja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu, dan Kampung Petisah Hilir.
Pada tahun 1918, penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari 409 orang Eropa, 35.009 orang Indonesia, 8.269 orang Cina, dan 139 orang Timur Asing lainnya.
Sejak itu, Kota Medan berkembang dengan pesat. Berbagai fasilitas dibangun, seperti Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan – Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
Secara historis, Medan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) dan pusat pemerintahan sejak masa lalu. Medan menjadi ibukota Deli dan berkembang menjadi pusat pemerintah dan juga menjadi ibukota Propinsi Sumatera Utara.
Masa Penjajahan Jepang di Kota Medan
Tahun 1942 mengakhiri penjajahan Belanda di Sumatera ketika Jepang mendarat di beberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan khususnya di Sumatera Timur.
Tentara Jepang yang mendarat di Sumatera adalah pasukan XXV yang berbasis di Shonanto, lebih dikenal dengan nama Singapura, mendarat tepat pada malam 11 hingga 12 Maret 1942. Pasukan ini terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18, yang dipimpin langsung oleh Letjen. Nishimura. Ada empat tempat pendaratan mereka, yaitu Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat Peurlak Aceh Timur saat ini) dan Tanjung Tiram (daerah Batubara saat ini).
Pasukan Tentara Jepang
Pasukan tentara Jepang yang mendarat di Tanjung Tiram inilah yang masuk ke Kota Medan, menaiki sepeda yang mereka beli dari penduduk setempat dengan sistem barter. Mereka bersemboyan bahwa mereka datang untuk membantu orang Asia karena mereka adalah saudara tua orang-orang Asia, sehingga mereka disambut dengan antusiasme.
Namun, ketika peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang terjadi, Kota Medan menjadi kacau. Penduduk pribumi memanfaatkan kesempatan ini untuk membalas dendam terhadap orang Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan mengerahkan pasukan “Kempetai” (Polisi Militer Jepang). Dengan kedatangan Jepang, keadaan di Kota Medan segera berubah, terutama pemerintahan sipilnya yang semula disebut “Gemeente Bestuur” oleh Belanda, diubah oleh Jepang menjadi “Medan Sico” (Pemerintahan Kotapraja). Pemimpin pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan selama kekuasaan Jepang adalah Hoyasakhi. Sementara itu, untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur yang memiliki masyarakat heterogen, disebut Syucokan, yang saat itu dijabat oleh T. Nakashima, dengan pembantu Residen disebut Gunseibu.
Baca Juga : Makanan Terenak di Medan
Penguasaan Jepang semakin merajalela di Kota Medan dan membuat masyarakat semakin miskin, karena menurut mereka dengan kondisi seperti itu akan lebih mudah untuk menguasai seluruh Nusantara. Semboyan saudara tua hanyalah semboyan semata. Di sebelah timur Kota Medan, tepatnya di Marindal sekarang, Jepang membangun Kengrohositai, sebuah pertanian kolektif. Di kawasan Titi Kuning Medan Johor, tidak jauh dari bandara Polonia saat ini, Jepang membangun landasan pesawat tempur Jepang.
Kota Medan Merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia
Di seluruh Indonesia, menjelang tahun 1945, persiapan Proklamasi Kemerdekaan terdengar di mana-mana, termasuk di Kota Medan, di mana para pemuda dan tokoh masyarakat bergerak melakukan berbagai persiapan. Mereka mendengar berita jatuhnya bom atom di Hiroshima, yang berarti kekuatan Jepang telah melemah, sementara tentara sekutu berniat kembali menduduki Indonesia.
Di Medan dan sekitarnya, ketika penguasa Jepang menyadari kekalahannya, mereka segera menghentikan semua kegiatan, khususnya yang berhubungan dengan perekrutan dan mobilisasi pemuda. Organisasi yang selama ini mereka gunakan untuk merekrut pemuda, seperti Heiho, Romusha, Gyu Gun, dan Talapeta, dibubarkan atau dikembalikan ke masyarakat.
Tetsuzo Nakashima
Secara resmi, kegiatan ini diakhiri pada tanggal 20 Agustus 1945, karena pada hari itu juga penguasa Jepang di Sumatera Timur, yang disebut Tetsuzo Nakashima, mengumumkan kekalahan Jepang. Ia juga menyatakan bahwa tugas pasukan mereka adalah menjaga status quo sebelum penyerahan kepada pasukan sekutu. Sebagian besar anggota pasukan bekas Heiho, Romusha, Talapeta, dan Gyu Gun merasa bingung dan terjepit karena mereka hanya mendapatkan uang saku terbatas, sehingga mereka tampak berjalan-jalan dengan seragam coklat di tengah kota.
Beberapa tokoh pemuda, melihat keadaan ini, mengambil inisiatif untuk mengatasi masalah tersebut. Terutama bekas perwira Gyu Gun seperti Letnan Achmad Tahir, yang mendirikan sebuah panitia untuk membantu bekas Heiho, Romusha yang tidak memiliki keluarga di Kota Medan. Panitia ini dinamakan “Panitia Penolong Pengangguran Eks Gyu Gun” dengan kantor di Jl. Istana No.17 (sekarang Gedung Pemuda).
Tanggal 17 Agustus 1945, kabar kemerdekaan sampai ke Kota Medan, meskipun dengan terhambat karena komunikasi pada saat itu sangat terbatas. Kantor Berita Jepang “Domei” memiliki perwakilan di Medan, tetapi mereka tidak mau menyiarkan berita kemerdekaan, sehingga masyarakat semakin bingung.
Sebuah kelompok kecil tentara sekutu, dipimpin Letnan I Pelaut Brondgeest, tiba di Kota Medan pada tanggal 1 September 1945 dan berkantor di Hotel De Boer (sekarang Hotel Dharma Deli). Tugas mereka adalah mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Pada saat yang sama, tentara Belanda yang dipimpin oleh Westerling, didampingi perwira penghubung sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan Brondgeest, berhasil membentuk kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera Timur, yang anggotanya diambil dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro-Belanda.
Akhirnya, melalui perjuangan yang panjang dan berliku-liku, para pemuda di Kota Medan melakukan berbagai aksi untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia, termasuk di Kota Medan. Beberapa tokoh yang terlibat dalam perjuangan ini adalah Achmad Tahir, Amir Bachrum Nasution, Edisaputra, Rustam Efendy, Gazali Ibrahim, Roos Lila, A. Malik Munir, Bahrum Djamil, Marzuki Lubis, dan Muhammad Kasim Jusni.